Biografi Singkat Muhammad Abduh

    Syekh Muhammad Abduh, nama lengkapnya Muhammad bin Abduh bin Hasan Khairullah. Beliau lahir di desa Mahallat Nashr kabupaten Al-Buhairah (Mesir) pada tahun 1849 M. Beliau bukan berasal dari keturunan yang kaya dan bukan pula keturunan bangsawan. Ayahnya bernama Abduh Chairullah, beliau di kenal sebagai orang terhormat yang suka member pertolongan. Karena tindakan-tindakan penguasa negerinya, ayahnya meninggalkan kampung halamannya, untuk menuju propinsi Gharbiah, dan disana ayahnya menikah dengan Junainah, seorang wanita terpandang dikalangan familinya, sebagaimana dengan Abduh Chairullah sendiri seorang yang terpandang. Dari Junainah tersebut lahirlah seorang anak laki-laki pada tahun 1849 M, dan diberi nama Muhammad Abduh. Setelah tinggal di propinsi Gharbiah, Abduh Chairullah dengan keluarganya pulang ke kampung halamannya yang semula, dimana Ia kemudian kawin lagi dengan seorang wanita lain, dan dari istri ini pun lahir anak-anaknya. Dengan demikian, maka Syekh Muhammad Abduh hidup dalam suatu rumah yang didiami oleh banyak istri dan anak-anak yang berlainan ibunya.

Karya-Karya Muhammad Abduh

Karya-karya tulisnya yang terkenal antara lain: 
  1. Risalah al-Waridat pada tahun 1874; Menerangkan ilmu tauhid menurut pola tasawuf yang dijiwai oleh pokok pikiran Jamaluddin al-Afghani. 
  2. Hasyi’ah ‘ala Syarh al-‘Aqa’id al-Adudiyah pada tahun 1876 
  3. Najh al-Balaghah pada tahun 1885; Menurut kesusasteraan bahasa Arab yang berisi tauhid dan kebesaran agama Islam 
  4. Al-Radd ‘ala al-Dahriyiyin diterjemahkan tahun 1886 
  5. Syarh Kitab al-Basyair al-Nashraniyah fi al-Ilmi al-Mantiq pada tahun 1888; Uraian ringkas tentang ilmu mantiq (logika) yang telah dikuliahkan di al-Azhar dan diakui sebagai kitab terbaik dalam ilmu ini. 
  6. Maqamat Badi’ al-Zaman al-Hamdani pada tahun 1889 
  7. Taqrir fi Ishlah al-mahakim al-Syar’iati pada tahun 1900; Buku ini ditulis sewaktu ia menjabat Ketua Mahkamah Tinggi di Kairo, ia memberikan sugesti terhadap perubahan-perubahan penting dalam undang-undang syariat. 
  8. Al-Islam wa al-Nashraniyah ma’a al-Ilm wa al-Madaniyah pada tahun 1903 
  9. Falsafat al-Ijtima’l wa al-Tarikh; Yang menguraikan filsafat sejarah dan perkembangan masyarakat
  10. Wahdat al-Wujud; Menerangkan faham segolongan ahli tasawuf tentang kesatuan antara Tuhan dan makhluk, yakni bahwa alam ini adalah pengejawantahan Tuhan 
  11. Risalah al-Tauhid disusun pada tahun 1897; Berisi uraian tentang tauhid yang mendapat sambutan terbaik dari kalangan ulama muslim dan dari kalangan agama lain.
  12. Tafsir Al-Manar

Pemikiran Kalam Modern Muhammad Abduh

Kedudukan Akal dan Fungsi Wahyu, Muhammad Abduh memberikan peranan yang sangat besar kepada akal. Menurut Abduh, akal dapat mengetahui hal-hal berikut:
  • Tuhan dan sifat-sifat Nya 
  • Keberadaan hidup di akhirat 
  • Kebahagiaan jiwa di akhirat bergantung pada upaya mengenal Tuhan dan berbuat baik, sedangkan kesengsaraannya bergantung pada sikap tidak mengenal Tuhan dan melakukan perbuatan jahat 
  • Kewajiban manusia mengenal tuhan 
  • Kewajiban manusia untuk berbuat baik dan menjauhi perbuatan jahat untuk kebahagiaan di akhirat
  • Hukum-hukum mengenai kewajiban itu
    Dengan memperhatikan pandangan Muhammad Abduh tentang peranan akal diatas, dan dapat di ketahui pula sebagaimana fungsi wahyu baginya. Baginya, wahyu adalah penolong (al-mu’in). Kata ini ia pergunakan untuk menjelaskan fungsi wahyu bagi akal manusia. Wahyu, katanya menolong akal untuk mengetahui sifat dan keadaan kehidupan alam akhirat, mengatur kehidupan masyarakat atas dasar prinsip-prinsip umum yang dibawanya, menyempurnakan pengetahuan akal tentang Tuhan dan sifat-sifat-Nya dan mengetahui cara beribadah serta berterima kasih kepada Tuhan. Dengan demikian, wahyu bagi Abduh berfungsi sebagai konfirmasi, yaitu : 
  1. Untuk menguatkan dan menyempurnakan pengetahuan akal dan informasi. 
  2. Kebebasan manusia dan fatalisme, bagi Abduh di samping mempunyai daya pikir, manusia juga mempunyai kebebasan memilih, yang merupakan sifat dasar alami yang ada dalam diri manusia. Kalau sifat dasar ini di hilangkan dari dirinya , ia bukan manusia lagi, tetapi makhluk lain. Manusia dengan akalnya mampu mempertimbangkan akibat perbuatan yang dilakukannya, kemudian mengambil keputusan dengan kemauannya sendiri, dan selanjutnya mewujudkan perbuatannya itu dengan daya yang ada dalam dirinya. 
  3. Sifat-sifat Tuhan, dalam risalah ia menyebut sifat-sifat Tuhan. Adapun mengenai masalah apakah sifat itu termasuk esensi Tuhan atau yang lain? Ia menjelaskan bahwa hal itu terletak diluar kemampuan manusia. Dengan demikian Nasution melihat bahwa Abduh cenderung kepada pendapat bahwa sifat termasuk esensi Tuhan walaupun tidak secara tegas mengatakannya. 
  4. Kehendak mutlak Tuhan, karena yakin akan kebebasan dan kemampuan manusia, Abduh melihat bahwa Tuhan tidak bersifat mutlak. Tuhan telah membatasi kehendak mutlah-Nya dengan member kebebasan dan kesanggupan kepada manusia dalam mewujudkan perbuatan-perbuatanya. Kehendak mutlak Tuhan pun dibatasi oleh sunnatullah secara umum. Ia tidak mungkin menyimpang dari sunnahtullah yang telah ditetapkannya. Di dalamnya terkandung arti bahwa tuhan dengan kemauan-Nya sendiri telah telah membatasi kehendak-Nya dengan sunnahtullah yang diciptakan-Nya untuk mengatur alam ini. 
  5. Keadilan Tuhan, karena memberikan daya besar kepada akal dan kebebasan manusia, Abduh mempunyai kecenderungan untuk memahami dan meninjau ala mini bukan hanya dari segi kehendak mutlat Tuhan, tetapi juga dari segi pandangan dan kepentingan manusia. Ia berpendapat bahwa ala mini diciptakan untuk kepentingan manusia dan tidak satupun ciptaan Tuhan yang tidak membawa mamfaat bagi manusia. 
  6. Antropomorfisme, karena Tuhan termasuk dalam alam rohani, rasio tidak dapat menerima faham bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat jasmani. Abduh, yang memberi kekuatan besar pada akal, berpendapat bahwa tidak mungkin esensi dan sifat-sifat Tuhan mengambil bentuk tubuh atau roh makhluk di alam ini. Kata-kata wajah, tangan, duduk dan sebagainya mesti difahami sesuai dengan pengertian yang diberikan orang Arab kepadanya. 
  7. Melihat Tuhan, Muhammad Abduh tidak menjelaskan pendapatnya apakah Tuhan yang bersifat rohani itu dapat dilihat oleh manusia dengan mata kepalanya di hari perhitungan kelak? Ia hanya menyebutkan bahwa orang yang pecaya pada tanzih (keyakinan bahwa tidak ada satu pun dari makhluk yang menyerupai Tuhan) sepakat menyatakan bahwa Tuhan tak dapat digambarkan ataupun dijelaskan dengan kata-kata. Kesanggupan melihat Tuhan dianugerahkan hanya kepada orang-orang tertentu di akhirat. 
  8. Perbuatan Tuhan, karena berpendapat bahwa ada perbuatan Tuhan yang wajib, Abduh sefaham dengan Mu’tazilah dalam mengatakan bahwa wajib bagi Tuhan untuk berbuat apa yang terbaik bagi manusia.