Pengertian Istilah Murjiah

Kata Murji’ah berasal dari kata bahasa Arab arja’a-yarji’u, yang berarti menunda atau menangguhkan. Dalam golongan Murji`ah ialah orang yang menunda penjelasan. Secara istilah, yaitu satu golongan manusia yang tidak mau turut campur dalam pertentangan yang terjadi waktu itu, dan mengambil sikap menyerahkan persoalan kafir atau tidaknya seseorang kepada Allah. Secara umum, kemunculan aliran Murji’ah merupakan antitesa terhadap aliran khawarij, terutama dalam persoalan iman dan kafir.


Awal Mula Munculnya Aliran Murjiah

Murji’ah lahir pada permulaan abad pertama hijriah tatkala pemerintahan Islam pindah ke Damaskus. Aliran Murji’ah muncul sebagai reaksi atas sikapnya yang tidak mau terlibat dalam upaya mengklaim kafir mengkafirkan terhadap orang yang melakukan dosa besar, sebagai mana hal ini dilakukan oleh aliran Khawarij. Oleh karena itu, aliran ini menangguhkan penilaian terhadap orang-orang yang terlibat dalam peristiwa tahkim itu di hadapan Tuhan, karena hanya Tuhanlah yang mengetahui keadaan iman seseorang. Hal ini lebih cenderung dalam masalah hati dan niat seseorang yang saling bertikai atau berselisih tersebut.  


Tokoh-tokoh dalam Aliran Murji’ah 

 Tokoh-tokoh penyebar aliran Murji'ah antara lain sebagai berikut: 

  1. Hasan bin Muhammad bin Ali bin Abi Thalib, 
  2. Abu Hanifah, Abu Yusuf dan beberapa ahli hadits lainnya. 
  3. Ubaid Al-Muk- taib 
  4. Jahm bin Shufwan, dari golongan Al-Jahmiyah,
  5. Abu Musa Ash-Shalahi, dari golongan Ash-Shalihiyah, 
  6. Yunus As-Samary, dari golongan Al-Yunushiya, 
  7. Abu Smar dan Yunus, dari golongan As-samriah, 
  8. Abu Syauban, dari golongan AsySyaubaniyah, 
  9. Abu Marwan Al-Ghailan bin Marwan Ad-Dimasqy, dari golongan Al-Ghailaniyah, 
  10. Al-Husain bin Muhammad An-Najr, dari golongan AnNajariyah, 
  11. Abu Haifah An-Nu’man, dari golongan Al-Hanafiyah, 
  12. Muhammad bin Syabib, dari golongan Asy-Syabibiyah, 
  13. Mu’adz Ath-Thaumi, dari golongan AlMu’aziyah, 
  14. Basr Al-Murisy, dari golongan Al-Murisiyah, 
  15. Muhammad bin Karam As-Sijistany, dari golongan Al-Kalamiyah. 
  16. Hasan bin Bilal al Muzni (tokoh utama), 
  17. Abu Salat as Samman (meninggal 152 H.) Tsauban, 
  18. Dhirar bin Umar, 
  19. Tsabit bin Quthanah (Penyair mereka yang terkenal pada masa Bani Umayah yang mengarang sebuah syair tentang i’tiqad dan kepercayaan kaum Murji’ah).


Ajaran Pokok Aliran Murjiah

Ada beeapa tukoh yang menyebutkan pokok ajaran murjiah yang salah satunya adalah Harun Nasution, beliau menyebutkan empat ajaran pokoknya, yaitu: 

  1. Menunda hukuman atas Ali, Muawiyah, Amr bin Ash, dan Abu Musa Al-Asy’ari yang terlibat tahkim dan menyerahkan kepada Allah di hari kiamat kelak. 
  2. Menyerahkan keputusan kepada Allah atas orang muslim yang berdosa besar. 
  3. Meletakkan (pentingnya) iman daripada amal. 


Dalil Nash (Ayat) Al-Qur’an yang menjadi Landasan Pemikiran Aliran Murji’ah

Dalil nash (ayat) yang di ambil dalam mendukung pemikirannya adalah firman Allah SWT dalam Q.S. Az-Zumar: 53 

قُلْ يَا عِبَادِيَ الَّذِينَ أَسْرَفُوا عَلَىٰ أَنْفُسِهِمْ لَا تَقْنَطُوا مِنْ رَحْمَةِ اللَّهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ يَغْفِرُ 

الذُّنُوبَ جَمِيعًا ۚ إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ

Artinya: “Katakanlah (Nabi Muhammad), “Wahai hamba-hamba-Ku yang melampaui batas (dengan menzalimi) dirinya sendiri, janganlah berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa semuanya. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.20 (Q.S. Az-Zumar: 53) 

Dalil nash (ayat) Al-Qur'an yang dijadikan keimanan dan kekufuran yang seluruhnya terletak pada hati adalah nash (ayat) Q.S. Al-Mujadalah: 22 

لَا تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا آبَاءَهُمْ أَوْ أَبْنَاءَهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ ۚ أُولَٰئِكَ كَتَبَ فِي قُلُوبِهِمُ الْإِيمَانَ وَأَيَّدَهُمْ بِرُوحٍ مِنْهُ ۖ وَيُدْخِلُهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا ۚ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ ۚ أُولَٰئِكَ حِزْبُ اللَّهِ ۚ أَلَا إِنَّ حِزْبَ اللَّهِ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

Artinya: “Engkau (Nabi Muhammad) tidak akan mendapatkan suatu kaum yang beriman kepada Allah dan hari Akhir saling berkasih sayang dengan orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya sekalipun mereka itu bapaknya, anaknya, saudaranya, atau kerabatnya. Mereka itulah orang-orang yang telah Allah tetapkan keimanan di dalam hatinya dan menguatkan mereka dengan pertolongan dari-Nya. Dia akan memasukkan mereka ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai. Mereka kekal di dalamnya. Allah rida kepada mereka dan mereka pun rida kepada-Nya. Merekalah golongan Allah. Ingatlah, sesungguhnya golongan Allah itulah orang-orang yang beruntung. (Q.S. Al-Mujadalah: 22)

Dalil-dalil diatas yang digunakan oleh kaum Murji’ah yang mengesampingkan amal dari hakikat keimanan, pemahaman tersebut tidak bisa di benarkan karena hal itu berarti meremehkan amalan-amalan dzahir (yang tampak) dengan amalan-amalan hati, maka menurut mereka beriman dalam hati merupakan pedoman dasar dalam keimanan. Bahkan mereka tidak mengkafirkan seseorang meskipun ia telah mengerjakan kekufuran secara terang-terangan, dan hasilnya selama di dalam hatinya masih mempercayai syariat Islam, walaupun tidak mengamalkannya, bahkan justru mengerjakan amalan-amalan kekafiran maka ia tidak kafir.


Ciri-Ciri khusus yang ada di dalam aliran Murji’ah sebagai berikut: 

  1. Mereka berpendapat, iman hanya sebatas penetapan dengan lisan, atau sebatas pembenaran dengan hati, atau hanya penetapan dan pembenaran, 
  2. Iman tidak bertambah dan tidak berkurang, tidak terbagi-bagi, orang yang beriman tidak bertingkat-tingkat, dan iman semua orang adalah sama, 
  3. Mereka mengharamkan istitsan` (mengucapkan ‘saya beriman insya Allah) di dalam iman, 
  4. Orang yang meninggalkan kewajiban dan melakukan perbuatan haram (dosa dan maksiat) tidak berkurang imannya dan tidak merubahnya, 
  5. Mereka membatasi kekufuran hanya pada pendustaan dengan hati, 
  6. Mereka mensifati amal-amal kekufuran yang tidak membawa melainkan kepada kekufuran, seperti menghina dan mencela (Allah, Rasul-Nya, maupun syari’at Islam); bahwa hal itu bukanlah suatu kekufuran, tetapi hal itu menunjukkan pendustaan yang ada dalam hati.