Biografi Singkat Ismail Raji Al-Faruqi
Ismail raji al-Faruqi merupakan cendikiawan muslim asal Palestina yang lahir pada 1 Januari 1921 di daerah Jaffa, sebelum wilayah tersebut diduduki Israel. Berangkat dari keluarga terdidik, al-Faruqi mendapat pengayoman langsung dari ayahnya yang menjunjung tinggi nilai-nilai keagamaan dalam kehidupannya. Ayahnya bernama Abdul Huda Al Faruqi, seorang qâdhi terkemuka di Palestina. Keluarga al- Faruqi tidak hanya terpandang dari sisi akademik tetapi juga hidup dalam berkecukupan. Lingkungan keluarga Al Faruqi merupakan keluarga yang dikenal sebagai keluaga berpendidikan.
Karya-Karya Ismail Raji Al-Faruqi
Dilihat dari berbagai kegiatan Ismail Raji al-Faruqi di dunia keaktivisan tidak diragukan lagi keahlian beliau dalam menuangkan gagasan-gagasan dalam sebuah karya. Kajian keilmuannya meliputi masalah dunia Islam, modernitas, Ilmu pengetahuan dan Islamisasi Ilmu pengetahuan. Seperti yang tertulis dalam beberapa karyanya di bawah ini:
- On Arabism, `Urubah and Religion: An Analysis of the Dominant Ideas of Arabism and of Islam as Its Heights Moment of Consciousness, (1962.)
- Usul as-Sahyuniyahfiad-Dinal-Yahudi (Analytical Study of the Growth of Particularism in Hebrew Scripture (1964).
- Islam and Modernity: Problem and Prespective, 1968
- Islam and Modernity: Diatribe or Dialogue? Journal of Ecumenical Studies, 1968
- The Role of Islam in Global Interreligious Dependences, 1980
- Izlamization of Knowledge, 1982; Dalam buku ini ia berusaha mensosialisasikan pandangan-pandangannya tentang problem mendasar yang di alami umat Islam sekaligus menawarkan kerangka kerja dan tahapan-tahapan teknis yang harus dilaksanakan ketika akan melakukan proyek islamisasi terhadap ilmu pengetahuan di dunia muslim.
- Christian Ethics: An Historical Atlas of the Religions of the World; Trialogue of Abrahamic Faiths: The Cultural Atlas of Islam.;Dalam karya ini Ismail Raji al-Faruqi mengenalkan konsep-konsep perbandingan agama dengan tiga pandangan pokoknya, pertama, tiga agama saling memandang, kedua, konsep tiga agama (yahudi, Kristen, dan Islam) tentang negara dan bangsa. Ketiga, konsep tiga agama tenatng keadilan dan perdamaian.
- Tawhid: Its Implications for Thought and Live, 1982.
- Tawhid: Its Implications for Thought and Life. Herndon, 1982 Dalam karya ini al-Faruqi mengenalkan bahwa tauhid harus menjadi inti dalam segala sendi kehidupan manusia serta menganalisis secara tajam dan meyakinkan betapa tauhid dapt menjadi prinsip sejarah, prinsip ilmu pengetahuan, prinsip metafisika, prinsip etika, prinsip tata sosial, prinsip rumah, prinsip keluarga, prinsip tata politik, prinsip tata ekonomi, prinsip tata dunia dan prinsip estetika.
Konsep Pemikiran Ismail Raji Al-Faruqi
Melalui karyanya yang berjudul Tahwid: Its Implications for Thought and Life. Beliau mengungkapkan bahwa hakikat Tauhid:
- Tauhid sebagai inti pengalaman agama. Inti pengalaman agama, kata Al-Faruqi adalah Tuhan. Kalimat syahadat menempati posisi sentral dalam setiap kedudukan, tindakan, dan pemikiran setiap muslim. Kehadiran Tuhan mengisi kesadaran Muslim dalam setiap waktu. Bagi kaum Muslimin, Tuhan benar-benar merupakan obsesi yang agung. Esensi pengalaman agama dalam islam tiada lain adalah realisasi prinsip bahwa hidup dan kehidupan ini tidaklah sia-sia.
- Tauhid sebagai pandangan dunia. Tauhid merupakan pandangan umum tentang realitas, kebenaran, dunia, ruang dan waktu, sejarah manusia, dan takdir.
- Tauhid sebagai intisari Islam. Esensi peradaban Islam adalah Islam sendiri. Tidak ada satu perintah pun dalam Islam yang dapat dilepaskan dari tauhid. Tanpa tauhid, Islam tidak aka nada. Tanpa yauhid, bukan hanya sunnah nabi yang patut diragukan, bahkan ptanata kenabian pun menjadi hilang.
- Tauhid sebagai prinsip sejarah. Tauhid menempatkan manusia pada suatu etika berbuat atau bertindak, yaitu etika ketika keberhargaan manusia sebagai pelaku moral diukur dari tingkat keberhasilan yang dicapainya dalam mengisi aliran ruang dan waktu. Eskatologi Islam tidak mempunyai sejarah formatif. Is terlahir lengkap dalam Al-Qur’an, dan tidak mempunyai kaitan dengan situasi para pengikutnnya pada masa kelahirannya seperti halnya dalam agama Yahudi atau Kristen. Is dipandang sebagai suatu klimaks moral bagi kehidupan di atas bumi.
- Tauhid sebagai prinsip pengetahuan. Berbeda denga “iman” Kristen, iman Islam adalah kebenaran yang diberikan kepada pikiran, bukan kepada perasaan manusia yang mudah dipercayai begitu saja. Kebenaran, atau proposisi iman bukanlah misteri, hal yang dipahami dan tidak dapat diketahui dan tidak masuk akal, melainkan bersifat kritis dan rasional. Kebenaran- kebenarannya telah dihadapkan pada ujian keraguan dan lulus dalan ditetapkan sebagai kebenaran
- Tauhid sebagai prinsip metafisika. Dalam Islam, alam adalah ciptaan dan anugerah. Sebagai ciptaan, ia bersifat teleologis, sempurna, dan teratur. Sebagai anugerah, ia merupakan kebaikan yang tak mengandung dosa yang disediakan untuk manusia. Tujuannya agar manusia melakukan kebaikan dan mencapai kebahagiaan. Tiga penilaian ini, keteraturan, kebertujuan, dan kebaikan, menjadi ciri dan meringkas pandangan umat Islam tentang alam.
- Tauhid sebagai prinsip etika. Tauhid menegaskan bahwa Tuhan telah memberi amanat-Nya kepada manusia, suatu amanat yang tidak mampu dipikul oleh langit dan bumi. Amanat atau kepercayaan Ilahi tersebut berupa pemenuhan unsur etika dari kehendak Ilahi, yang sifatnya mensyaratkan bahwa ia harus direalisasikan dengan kemerdekaan, dan manusia adalah satu-satunya makhluk yang mampu melaksanakannya. Dalam Islam, etika tidak dapat dipisahkan dari agama dan bahkan dibangun di atasnya.
- Tauhid sebagai prinsip tata sosial. Dalam Islam tidak ada perbedaan antara yang satu dengan yang lainnya. Masyarakat Islam adalah masyarakat terbuka dan setiap manusia boleh bergabung dengannya, baik sebagai anggota tetap ataupun sebagai yang dilindungi (dzimmah). Masyarakat Islam harus mengembangkan dirinya untuk mencakup seluruh umat manusia. Jika tidak, ia akan kehilangan klaim keislamannya.
- Tauhid sebagai prinsip ummah. Dalam menyoroti tentang tauhid sebagai prinsip ummat, al Faruqi membaginya kedalam tiga identitas, yakni: pertama, menenentang etnosentrisme yakni tata sosial Islam adalah universal mencakup seluruh ummat manusia tanpa kecuali dan tidak hanya untuk segelitir suku tertentu. Kedua, universalisme yakni Islam meliputi seluruh ummat manusia yang cita-cita tersebut diungkapkan dalam ummat dunia. Ketiga totalisme, yakni Islam relevan dengan setiap bidang kegiuatan hidup manusia dalam artian Islam tidak hanya menyangkut aktivitas mnusia dan tujuan di masa mereka saja tetapi menyangkut aktivitas manusia disetiap masa dan tempat.
- Tauhid sebagai prinsip keluarga. Al-Faruqi memandang bahwa selama tetap melestarikan identitas mereka dari gerogotan kumunisme dan idiologi-idiologi Barat, umat Islam akan menjadi masyarakat yang selamat dan tetap menempati kedudukan yang terhormat. Keluarga Islam memiliki peluang lebih besar tetap lestari sebab ditopang oleh hukum Islam dan dideterminisi oleh hubungan erat dengan tauhid.
- Tauhid sebagai tata politik. Al-Faruqi mengaitkan tata politik dengan pemerintahan. Kekhalifahan didefenisikan sebagai kesepakatan tiga dimensi, yaitu: kesepakatan wawasan (ijma’ ar-ru’yah), kehendak (ijma’ al-iradah), dan tindakan (ijma’ al-amal). Wawasan yang dimaksud al-Faruqi adalah pengetahuan akan nilai-nilai yang membentuk kehendak iIahi. Kehendak yang dimaksud Al-Faruqi adalah pengetahuan akan nilai-nilai yang membentuk kehendak Ilahi. Adapun yang dimaksud dengan tindakan adalah peelaksanaan kewajiban yang timbul dari kesepakatan.
- Tauhid sebagai prinsip tata ekonomi. Al-Faruqi melihat implikasi Islam untuk tata ekonomi ada dua prinsip, yaitu: pertama, tak ada seorang atau kelompok pun yang dapat memeras yang lain. Kedua, tak satu kelompok pun boleh mengasingkan atau memisahkan diri dari umat manusia lainnya dengan tujuan untuk mebatasi kondisi ekonomi mereka pada diri mereka sendiri.
- Tauhid sebagai prinsip estetika. Dalam hal kesenian, beliau tidak menentang kretaivitas manusia, tidak juga menentang kenikmatan dan keindahan. Menurutnya Islam menganggap bahwa keindahan mutlak hanya ada dalam diri Tuhan dan dalam kehendak-Nya yang diwahyukan dalam firman-firman-Nya.
0 Komentar