A. Pengertian Ayat Qath’i dan Zhanni

1. Qath'i

Abdul Wahhab Khallaf berpendapat bahwa nash al-Qur’an dan Hadis yang bersifat qath’i al-dalalah adalah nash yang menunjuk pada makna tertentu yang tidak mengandung kemungkinan untuk dita’wil (dipalingkan dari makna asalnya) dan tidak ada celah atau peluang untuk memahaminya selain makna tersebut.

Asy-Syathibi dalam kitabnya al-muwafaqat menyatakan bahwa dalil qath`i adalah suatu dalil yang asal-usul historisnya (al-wurud), penunjukkan kepada makna (al-dalalah) atau kekuatan argumentatif maknanya itu sendiri (al-hujjiyah) bersifat pasti dan meyakinkan.

qath`i al-dalalah adalah sesuatu yang pasti dan meyakinkan sehingga tidak ada lagi kemungkinan lain.

2. Zhanni 

zhanni al-dalalah adalah yang masih mengandung dua atau lebih kemungkinan. Asy-Syathibi mendefinisakn zhanni al-dalalah adalah suatu dalil yang asal-usul historisnya (al-wurud), penunjukkan kepada maknanya (al-dalalah), atau kekuatan argumentatif maknanya itu sendiri (al-hujjiyah) diduga kuat sebagai benar, seperti keputusan hakim yang didasarkan atas keterangan para saksi yang tidak mustahil melakukan kekeliruan.

Selanjutnya asy-Syathibi membagi zhanni al-dalalah menjadi tiga, yaitu; pertama, zhanni al-dalalah yang dinaungi oleh suatu prinsip universal yang qath'i (ashl qath'i). Dalil ini tidak diragukan lagi keabsahannya. Kedua, zhanni al-dalalah yang bertentangan dengan suatu prinsip yang qath’i. Dalil ini secara umum ditolak, karena segala yang bertentangan dengan dasar-dasar syari’ah adalah tidak sah dan tidak dapat dipegangi. Dan ketiga, zhanni al-dalalah yang tidak bertentangan dengan suatu prinsip yang qath’i, tetapi tidak pula dinaungi oleh suatu prinsip yang qath’i. Menurut ay-Syatibi, dalil ini dapat diterima atas dasar bahwa pada dasamya segala yang berada pada tingkat zhanni dalam syari’ah dapat diterima.


B. Perbedaan Ayat Qath’i dan Zhanni

Ayat Qath'i Ayat Zhanni

Kata atau kalimat Al-Qur’an yang mengandung arti yang jelas, sehingga tidak mungkin ditafsirkan lain dari yang tersebut  dalam teksnya 

Kata atau kalimat Al-Qur’an yang menunjukkan arti atau pengertian lebih dari satu, masih mungkin ditafsirkan ganda

Contohnya dalam Q.S. an-Nisa ayat 12: “Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh istri-istri kamu jika mereka tidak mem-punyai anak”

Contohnya Q.S. al-Maidah ayat 3: “Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah...”


C. Contoh Ayat Qath’i dan Zhanni

1. Qath'i

Q.S. al-Nisa (4): 12; 

Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:

وَلَـكُمْ نِصْفُ مَا تَرَكَ اَزْوَا جُكُمْ اِنْ لَّمْ يَكُنْ لَّهُنَّ وَلَدٌ  ۚ ...ء  

 Artinya; “Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh istri-istri kamu jika mereka tidak mempunyai anak”. 

Ayat ini termasuk dalam kategori qath'i, sehingga dalam pembagian waris dilaksanakan sesuai dengan makna ayat. Tetapi ddalm penerapan dengan pendekatan teori 'aul dalam sistem kewarisan sunni bisa diubah disebabkan perubahan struktur keluarga. Misalnya, seseorang meninggal dunia dengan meninggalkan seorang isteri, dua ibu bapak, dan dua orang anak wanita. Menurut ketentuan Qur'an1/8 untuk isteri, 1/6 masing-masing untuk ibu dan bapak. dan 2/3 untuk kedua anak wanita, sehingga jumlah keseluruhan 27/24. Karena penyebut lebih kecil dari pembilang, maka untuk melaksanakan pembagiannya diterapkan teori 'aul. Caranya penyebut disamakan dengan pembilang yaitu 27/27. Dengan demikian, yang tadinya isteri mendapat 1/8, bisa saja berubah mendapat 1/9. dan seterusnya. Perubahan dan pengurangan bagian ahli waris ini dapat diterima oleh semua ulama sunni selama ini, karena sistem 'aul ini ternyata yang lebih mendekati keadilan, meskipu mengubah ketentuan hukum al-Qur'an.

Penunjukkan makna (al-dalalah) ayat tersebut adalah qath’i, yaitu jelas dan pasti, sehingga tidak boleh dita’wil dan dipahami selain yang ditunjukkan oleh ayat tersebut. Dengan demikian, bagian seorang suami dalam mewarisi harta peninggalan istrinya yang meninggal dengan tanpa ada anak adalah setengah dari harta peninggalannya.

2. Zhanni

Q.S. al-Maidah (5): 3

Allah Subhanahu Wa Ta'ala berfirman:

حُرِّمَتْ عَلَيْpكُمُ الْمَيْتَةُ وَا لدَّمُ ...ء

Artinya; “Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah…”

Lafadz al-maitah pada ayat tersebut bersifat ‘Am, yang mempunyai kemungkinan mengharamkan setiap bangkai atau keharaman itu dikecualikan selain bangkai binatang laut/air. Karenanya nash yang dimaksud ganda atau lafadz ‘Am seperti itu maka disebut zhanni dalalahnya. Hal ini disebabkan karena lafadz tersebut mempunyai suatu arti tetapi juga mungkin berarti lain.