Biografi Imam Al-Maturidi
Abu Mansur al-Maturidi bernama lengkap Abu Mansur Muhamad bin Muhamad bin Mahmud al-Maturidi al-Samarqandi. Beliau lahir di Maturid (sebuah kota kecil di daerah Samarkand, wilayah Transoxiana di Asia Tengah atau sekarang bernama Uzbekistan). Ayahnya keturunan dari Abu Ayyub Khalid ibn Zaid ibn Kulaib al-Ansari, yang rumahnya ditempati oleh Rasulullah ketika hijrah ke Madinah.2 Karena itu, selain mendapat sebutan al-Maturidi dan al-Samarkand ia juga disebut al-Ansari. Tidak banyak catatan mengenai riwayat keluarga dan kehidupan beliau. Bahkan dalam buku-buku klasik sekali pun, sehingga ada anggapan bahwa alMaturidi luput dari perhatian para penulis zaman klasik. Tetapi yang pasti, para sejarawan sepakat bahwa al-Maturidi wafat pada tahun 333 H/944 M dan dikuburkan di Samarkand.Al-Maturidi merupakan seorang teolog islam ahli sunnah wa al Jama’ah abad IX-X M, yang lahir dan dibesarkan dalam lingkungan ahli sunnah bermazhab Hanafi dan termasuk ulama Hanafiyah yang memiliki andil besar di bidang fikih melalui beberapa karya tulisnya. Beliau juga tekun dalam mempelajari sejumlah karya Abu Hanifah terutama yang berisi uraian tentang Ilmu Kalam, misalnya: al-Fiqh al-Akba dan al-Fiqh al-Absath. Karena besarnya pengaruh Abu Hanifah ini membuat alMaturidi begitu berani mempergunakan akal dalam bidang Kalam, sehingga walaupun dia dikenal sebagai penganut Ahl as-Sunnah wa al-Jama’ah Khalafiah, namun dalam masalah akal dan wahyu al-Maturidi malampaui Asy’ariyah dalam penggunaan akal fikiran. Situasi politik yang mendukung, memberi kesempatan kepada al-Maturidi untuk menggali ilmu lebih mendalam dan mengembangkannya dalam bentuk tulisantulisan yang kebanyakan berbicara soal akidah dan cenderung rasional, filosofis, dan merupakan pengembangan dari pemikiran kalam abu hanifah.
Diantara karya-karya tulis beliau yang meliputi Tafsir, Kalam, dan Ushul antara lain: Kitab Ta’wilaat al-Qur’an, Kitab al-Jadal fiy Ush al-Fiqh, Kitab alMa’akhiz al-Shara’i’ fiy al-Fiqh, al-Ma’akhidz al-Shara’i fiy Ushul al-Fiqh, Kitab alUshul, Kitab al-Bayan wahm al-Mu’tazilah, Kitab al-Radd ‘ala al-Qaramithah, Kitab Radd Awa’il al-Adillah li al-Ka’bi, Kitab Radd Tahab al-Jadal li al-Ka’bi, Rad Kitab al-Imamah li Ba’in al-Rawafid, Rad al-Ushul al-Khamzah lil Abiy Muhammad alBahiliy, Rad wa’ad al-Fussq lil al-Ka’bi. Namun, sayangnya karya-karya ini tak satupun yang dapat dipublikasikan, belum dicetak dan masih dalam bentuk manuskrip sehingga banyak dilupakan para sejarawan.
Sebagai seorang tokoh besar, al-Maturidi sering dipanggil dengan panggilan tertentu oleh para kalangan muridnya, antara lain: ‘allam al-huda (cendekiawan pembimbing kebenaran), imam al-huda (imam pembimbing kebenaran), imam almutakallimin (imam para teolog muslim). Meskipun al-Maturidi juga dikenal sebagai seorang ahli fiqih, namun ketokohannya di bidang kalam telah melampaunya.
Pokok Pemikiran Kalam Imam Al-Maturidi
Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa Imam Al-Maturidi banyak dipengaruhi oleh pola fikir Imam Abu Hanifah, yang banyak memakai rasio dalam pandangan keagamaannya, maka tak heran jika ia pun banyak menggunakan kekuatan akal dalam sistem teologinya. Di antara pemikiran-pemikirannya dalam masalah teologi adalah:
- Tentang Sifat Allah SWT Menurut Al-Maturidi, Tuhan mempunyai sifat. Dalam masalah sifat-sifat Tuhan terdapat persamaan di antara Imam Al-Asy’ari dengan AlMaturidi. Baginya Tuhan juga mempunyai sifat-sifat, seperti adanya nash yang menunjukkan bahwa Allah menyifati diri-Nya dengan sifat mendengar dan melihat. Maka menurut pendapatnya, Tuhan mengetahui bukan dengan dzat-Nya tetapi dengan pengetahuannya, tetapi Dia tidak seperti pengetahuan (al- ’Ulm), Dia juga berkuasa bukan dengan dzat-Nya, tetapi dengan Kekuasaan-Nya, tetapi Dia tidak seperti kekuasaan (al-Qudrah), Dia mendengar bukan dengan dzat-Nya, tetapi dengan pendengaran-Nya, dan Dia tidak seperti pendengaran (al-Asma’), begitu pula Dia melihat, tetapi bukan dengan dzat-Nya, Dia melihat dengan penglihatan-Nya dan Dia tidak seperti penglihatan (al-Abshar). Imam Al-Maturidi, al-Asy’ari dan Abi Hanifah sepakat mengakui adanya sifat bagi Allah. Namun dengan kapasitas dan latar belakang pendidikannya mereka berusaha menjelaskannya untuk meyakinkan manusia dengan formulasi kalimat masing-masing, terutama hal ini terjadi antara Al-Maturidi dengan Al-Asy’ari.
- Akal dan Wahyu Al-Maturidi mendasarkan seluruh pandangan teologisnya kepada wahyu sebagai sumber primer dan akal pikiran sebagai sumber sekundernya. Meskipun sumber teologis al-Maturidi masih mencakup wilayah Ahl Sunah wa al-Jama’ah Khalafiah sebagaimana Asy’ari, namun dalam hal pemberian dua sumber pokok teologi tersebut dapat dikatakan bahwa porsi yang diberikan oleh al-Maturidi terhadap akal lebih besar dibandingkan dengan alAsy’ari. Itulah sebabnya dikatakan bahwa metode Maturidiah memberikan otoritas yang besar kepada akal manusia. Jika Asy’ariah, tentu termasuk dalam konteks akal dan wahyu, berada dalam satu garis tengah antara Mu’tazilah dan Ahli Hadits, maka Maturidiah berada dalam satu garis lurus antara Mu’tazilah dan Asy’ariah. Menurut Al-Maturidi persoalan peranan akal senantiasa dihubungkan dengan wahyu. Uraian berikut akan difokuskan kepada empat macam persoalan: 1) Kemampuan akal untuk mengetahui Tuhan 2) Kemampuan akal untuk mengetahui kewajiban mengenal Tuhan 3) Kemampuan akal untuk mengetahui baik dan jelek 4) Kemampuan akal untuk mengetahui kewajiban melakukan yang baik dan mencegah dari yang jelek Menurut Maturidiyah Samarkand, akal mampu mengetahui persoalan 1, 2, dan 3. Adapun dalam persoalan 4 akal manusia tidak mampu dan hanya dapat diketahui malalui wahyu. Mengenai kewajiban manusia akan kemampuan mengetahui Tuhan dengan akalnya menurut al-Maturidi Samarkand sebelum datangnya wahyu itu juga adalah wajib diketahui oleh akal, maka setiap orang yang sudah mencapai dewasa (baligh dan berakal) berkewajiban mengetahui Tuhan. Sehingga akan berdosa bila tidak percaya kepada Tuhan sebelum turunnya wahyu. Begitu pula mengenai baik dan buruk, akal pun dapat mengetahui sifat baik yang terdapat dalam yang baik dan sifat buruk yang terdapat dalam yang buruk. Adapun mengenai kewajiban berbuat baik dan menjauhi yang buruk, menurut paham Maturidiah Samarkand akal tidak berdaya mewajibkan manusia terhadap hal tersebut. Karena kewajiban berbuat baik dan menjauhi yang buruk hanya dapat diketahui oleh wahyu. Sementara itu Maturidyah Bukhara mampu mengetahui persoalan 1 dan 3. Sedangkan dalam persoalan 2 dan 4 hanya bisa diketahui melalui wahyu.
- Masalah Iman dan Islam Menurut Al-Maturidi adalah ”al-Iqrar wa al-Tashdiq”, yakni ikrar dengan lisan dan tashdiq dengan hati. Sementara orangorang Al-Asy’ariah mensyaratkan iman dengan membaca dua kalimah syahadat sebagai bukti adanya pembenaran. Argumentasi Al-Maturidi sesungguhnya iaman secara bahasa adalah pembenaran (al-Tashdiq), sementara tashdiq kadang dengan hati, kadang dengan lisan. Sementara orangorang Asy’ariah berpandangan sesungguhnya tempat pembenaran (al-Tashdiq) adalah hati, sementara tempat ikrar adalah lisan dengan membaca dua kalimah syahadat. Jadi keduanya merupakan rukun iman. Mereka ini pada dasarnya mengembalikan argumentasinya kepada QS. Al-Mujadalah ayat 22, sebagai dalil bahwa iman adalah pembenaran dengan hati saja. Dengan demikian, iman menurut AlAsy’ari dapat bertambah dan dapat berkurang. Sementara Al-Maturidi sependapat dengan Abi Hanifah, iman tidak bertambah dan tidak berkurang. Keberadaan akal atau syari’at dalam masalah iman bagi Al-Matudiri, Iman wajib dengan akal.
- Masalah Dosa Besar Dalam masalah ini, golongan Khawarij berpendapat, bahwa orang yang melakukan dosa besar dihukum kafir atau musyrik. Berbeda dengan golongan Murji’ah, mereka berpendapat bahwa orang yang berbuat dosa besar tetap dihukumi sebagai seorang Mu’min. Adapun soal dosanya yang mereka buat, ditunda penyelesaiannya sampai kelak di hari akhirat (perhitungan). Sementara bagi Mu’tazilah orang-orang yang demikian itu, tidak dihukumi sebagai seorang kafir, juga bukan seorang Mu’min, akan tetapi fasik yang menduduki posisi di antara dua tempat (posisi), atau sering dikenal. AlMaturidi tidak sefaham dengan yang pertama (Khawarij), maupun yang terakhir (Mu’tazilah). Dalam hal ini kelihatannya ia lebih cenderung kepada pendapat yang kedua (Murji’ah), demikian juga dengan maha gurunya, Abu Hanifah. Bagi Maturidi orang yang berdosa besar (seperti zina dan membunuh) tetap dikatakan sebagai seorang Mu’min. Adapun bagaimana nasibnya kelak di akhirat, terserah kepada Tuhan.
- Masalah Melihat Tuhan Dalam hal Ru’yatullah, Al-Maturidi sejalan dengan golongan AlAsy’ariah, bahwa Tuhan kelak dapat dilihat oleh manusia. Ia berusaha mengajukan silogisme sebagai berikut : tidak dapat dilihat adalah yang tidak berwujud, setiap berwujud pasti dapat dilihat dan karena Tuhan berwujud maka Tuhan pasti dapat dilihat. Dalam hal ini, Imam Al-Maturidi mengatakan: “Dia (Tuhan) dapat dilihat bukan dalam dimensi suatu keadaan (al-hulul), batas-batas (al-hudud) atau dalam dimensi bentuk. Sebagaimana kita melihat, Dia bukan sesuatu yang dibatasi dan tidak dibentuk, maka demikianlah, kita melihat-Nya, bahwa Dia tidak dibatasi dan tidak dibentuk. Tetapi yang jelas, bagi Al-Maturidi melihat Allah adalah sesuatu yang mesti ada (terjadi) tanpa adanya penawaran atau interpretasi, yaitu tanpa mempunyai bentuk. Sementara al-kaifiyah ada gai sesuatu yang memiliki bentuk, akan tetapi Dia dapat dilihat dengan tanpa sifat ; berdiri dan duduk, bertelekkan dan bergantung, berhubungan dan tidak berhubungan, berhadap-hadapan dan membelakangi, pendek dan panjang, terang dan gelap, diam dan bergerak, bersentuhan dan bertolakan, di luar dan di dalam, dan tidak ada angan-angan yang mampu mengambil maknanya. Akal juga tidak akan mampu, karena ke Maha Agungan Allah SWT. Dan satu hal lagi, orang-orang Mu’min hanya dapat melihat Allah di akhirat kelak. Namun dalam hal ini ada sedikit perbedaan antara Maturidi dengan Asy’ari, bagi Maturidi melihat Allah merupakan sesuatu yang terjadi tanpa adanya interpretasi, yakni kita dituntut untuk beriman adanya Ru’yatullah, karena ada adanya penjelasan dari alQur’an dari al-Sunnah, sementara akal tidak akan sanggup (tidak usah mancari) alasan ditetapkannya “Ru’yatullah”. Adapun bari AlAsy’ari, ia berpendapat mungkin saja akal mampu membuat argumentasi mengenai “Rulyatullah”
- Masalah Baik dan Buruk Telah terjadi perbedaan pendapat antara golongan Al-Asy’ariah dengan golongan Al-Maturidiah ketika membahas masalah baik dan buruk. Dalam hal ini Maturidiah lebih dekat kepada Mu’tazilah. Ia berpendapat bahwa sesungguhnya akal mampu mengidentifikasi sesuatu yang baik dan buruk. Sementara Al-Asy’ariah berpendapat lain, mereka memandang bahwasanya akal tidak mampu mampu mengetahui baiknya sesuatu dari sesuatu, demikian juga akal tidak mampu mengetahui jeleknya sesuatu dari sesuatu. Dan sesungguhnya jalan ke arah sana hanya dapat diketahui dengan melalui Syar’i. Maka dengan demikian, sesuatu yang baik adalah sesuatu yang dipesan oleh Syar’i, dan akan mendapat pahala bari yang melaksanakannya. Dan kejelekan adalah sesuatu yang dijelaskan oleh Syar’i dan akan mandapat dosa bagi siapa saja yang melakukannya.
Perkembangan Pemikiran Aliran Maturidiyah
Pada abad ke-10, al-Maturidi sendiri mengembangkan pandangan teologis yang kemudian menjadi dasar aliran Maturidiyah. Pandangannya ini menekankan pentingnya akal dalam memahami ajaran agama dan menolak pandangan-pandangan yang bertentangan dengan akal. Pada abad ini disebut dengan fase pembentukan. Al-Maturidi menegaskan pentingnya akal dan pengetahuan dalam memahami ajaran Islam, serta menolak pandangan yang bersifat antinomi (bertentangan dengan akal sehat) atau antropomorfis (menyerupakan Tuhan dengan makhluk-Nya).
Fase Klasik (Abad ke-11-12): Pemikiran Maturidiyah berkembang pesat pada masa ini, terutama melalui karya-karya ulama seperti Abu Bakar al-Baqillani dan Abu Hamid alGhazali. Mereka memperdalam dan mengembangkan aqidah Maturidiyah, serta mengkritik pandangan-pandangan lain yang dianggap tidak sesuai dengan ajaran Islam.
Fase Kontemporer (Abad ke-13-sekarang): Pada masa ini, pemikiran Maturidiyah terus berkembang dan beradaptasi dengan perubahan zaman. Pemikiran ulama seperti Fakhr al-Din al-Razi dan Ibn Taymiyyah memberikan kontribusi penting dalam memperkaya ajaran Maturidiyah, sementara pemikir modern seperti Muhammad Abduh dan Rashid Rida mengusulkan reformasi dalam pengajaran aqidah.
Dalam perkembangannya, aliran Maturidiyah menegaskan beberapa prinsip aqidah dasar yang penting, seperti keberadaan Tuhan yang Maha Esa, sifat-sifat Tuhan yang tidak dapat disamakan dengan makhluk-Nya, kemampuan akal untuk memahami ajaran agama, dan keadilan Tuhan dalam menentukan takdir manusia.
Simpulan
Abu Mansur al-Maturidi bernama lengkap Abu Mansur Muhamad bin Muhamad bin Mahmud al-Maturidi al-Samarqandi. Beliau lahir di Maturid (sebuah kota kecil di daerah Samarkand, wilayah Transoxiana di Asia Tengah atau sekarang bernama Uzbekistan). AlMaturidi merupakan seorang teolog islam ahli sunnah wa al Jama’ah abad IX-X M, yang lahir dan dibesarkan dalam lingkungan ahli sunnah bermazhab Hanafi dan termasuk ulama Hanafiyah yang memiliki andil besar di bidang fikih melalui beberapa karya tulisnya. Pokok pemikiran kalam Al-Maturidi meliputi berbagai topik, yaitu; tentang sifat Allah SWT, akal dan wahyu, masalah iman dan islam, masalah dosa besar, masalah melihat Tuhan, dan masalah baik dan buruk. Aliran Maturidiyah didasarkan pada prinsip-prinsip yang ditemukan dalam Al-Qur'an dan hadis. Aliran ini mengajarkan bahwa Allah SWT memiliki pengetahuan yang sempurna tentang segala sesuatu, bahwa Allah SWT adil dan tidak akan membiarkan kejahatan terjadi tanpa hukuman yang pantas, dan bahwa hanya Allah SWT yang pantas diibadahi karena tidak ada yang serupa dengan-Nya. Perkembangan pemikiran aliran Maturidiyah mencakup pengembangan doktrin keyakinan Sunni yang dipelajari dan diamalkan hingga kini, seperti keyakinan akan keesaan Allah, sifat-sifat Allah, keberadaan malaikat, kitab suci, nubuwwah, qadar, dan kebangkitan akhirat. Aliran ini juga memiliki pengaruh penting dalam perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan Islam. Secara keseluruhan, Al-Maturidi dan aliran Maturidiyah telah memberikan kontribusi besar dalam pengembangan pemikiran kalam Sunni dan Islam secara keseluruhan. Pemikirannya yang inovatif dan terorganisir dengan baik membuatnya menjadi salah satu tokoh penting dalam sejarah intelektual Islam.
0 Komentar